Rabu, 16 Juli 2014

Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina

Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina

Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina
Sembilan bulan mengusung kehamilan diterik siang dan beku malam bukan tujuan lainnya,  tapi lahirkan penjaga- penjaga tanah para nabi.
Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina
Merawati hidup sambil tetap tersenyum dan tak lupa dengan senjata, barangkali ada yang menggempur tiba-tiba.
Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina
Tiap kelahiran dia didiknya dengan hafalan al-quran, sebab hanya ayat suci mampu gentarkan kebiadaban tak berperih.
Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina
Tak tidur,tak makan itu hal yang terlalu biasa,  berpuasa tak hanya di bulan suci demi mendoakan pejuang-pejuang para kekasih hatinya.
Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina
Bukan hanya perang atau mengusung senjata saat kehamilan, bukan hanya lapar atau bertempur dengan keberanian, namun jiwa-jiwa ikhlas melepas  semua yang tercinta mengantar jiwa bertemu Rasulnya, Syahid...
Sebaik-baiknya perempuan mungkin ada di palestina

oleh peggy melati sukma

Jumat, 09 Mei 2014

Cerita lucu makassar

Asu atau Apa???

aras suka sekali memelihara Anjing atau asu, ketika kuliah dia membawa anjing kesayangannya dari kampung dan menaikkannya keatas bus. ternyata susah membawa anjing ke makassar karena beberapa bus menolak mengangkut anjing. akhirnya ia memasukkan anjingnya kedalam karung sehingga mirip nangka. ketika bus lewat ia mengatakan bahwa isi karung tersebut adalah nangka.
kondektur : we itu nangka betul to? bukan hewan, jangan sampai anjing itu.. masalahnya dilarang bawa hewan di bus cesss...
Aras : "tojeng nga' nangka betul itu..
akhirnya bus berangkat dan anjingnya berhasil dibawa.. sesampainya di Enrekang, mobil menabrak sebuah Truk dan karung aras terbentur sehingga anjingnya berteriak.. (bagaimana kah kalaw anjing berteriak, "kaing-kaing kaing" mo sja di;;;)
kondektur : nah itu kan saya bilang apa tadi kamu pasti bawa anjing, tapi kamu bilang nangka.."
arass : cocokmi ini memang anjing tapi namanya NANGKA>>>>

Tukang becak

Tukang Becak 

Jangan pernah berani berdebat dengan tukang becak, karena di balik profesinya sebagai tukang becak rupanya mereka juga punya otak yang tak kalah saing sama orang yang berpendidikan tinggi. Contoh kasus seperti cerita tukang becak di bawah ini.

Di sebuah persimpangan jalan yang ramai hampir saja terjadi sebuah kecelakaan, pasalnya seeorang tukang becak menerobos lampu merah. Tiba-tiba dari arah samping kanan sebuah mobil sedan meluncur dengan kencang dan hampir menabrak tukang becak tersebut. Dengan kesalnya si supir langsung memarahi si tukang becak, "Dasar Goblok...main nyelonong aja!"

Dengan nada santai si tukang becak menjawab, "seandainya guwa goblok pak, guwa ga bakalan jadi tukang becak" hehehehe

 

Balapan Tukang Becak

Di suatu malam di kota besar terjadi sebuah balapan liar yang sangat seru. Saking serunya sampai-sampai banyak orang  yang datang untuk melihat. Ternyata adu balap liar malam itu melibatkan seorang pembalap motor dan seorang tukang becak yang terkenal jago balap liar antar tukang becak.

Setelah diberi aba-aba, keduanya pun langsung tancap gas (kalo si tukang becak langsung tancap pedal..)

Di luar perkiraan, ternyata si tukang becak lebih dulu sampai ke garis finish. Para penonton pun berdecak kagum dan bertepuk tangan untuk si tukang becak. Tapi, tiba-tiba terdengar suara yang keras mirip letusan ban. Para penonton pun segera memeriksa ban becak tersebut, tetapi ternyata ban-nya masih dalam keadaan baik-baik saja. Setelah dicari-cari ternyata........suara letusan berasal dari betis si abang becak

Jumat, 07 Desember 2012

Kisah Inspiratif : Pekerjaan Dengan Bayaran Tertinggi


“Gaji yang kita terima, belum tentu sesuai harapan. Sedangkan imbalan disisi TUHAn, pasti memuaskan..”
Slip gaji diklasifikasikan sebagai dokumen confidential. Anda tentu tidak ingin orang lain mengetahui angka-angka yang tertulis dalam kertas slip gaji Anda, bukan? Kepada suami atau istri, mungkin tidak keberatan untuk memperlihatkannya. Tetapi kepada orang lain? Tentu tidak. Anehnya, kadang kita tergoda oleh rasa ingin tahu terhadap angka-angka yang tertera dalam slip gaji orang lain.
Memang, Anda tidak bakal membuang-buang waktu untuk mengintipnya, apalagi secara paksa meminta orang lain memperlihatkannya. Tapi, jika ada kesempatan untuk melihatnya boleh jadi kosa kata yang kita gunakan berbunyi ‘kenapa tidak?’. Lantas seandainya Anda ‘berhasil’ mengetahui slip gaji orang lain, apakah hal itu akan berdampak positif bagi Anda ataukah malah sebaliknya?
Adasebuah kejadian menarik. Seorang manager secara tidak sengaja menemukan selembar kertas yang tergeletak dalam tray mesin foto copy kantornya. Untuk menggunakan mesin fotocopy itu dia harus memindahkan kertas ‘tak bertuan’ itu. Ketika meraihnya, dia menyadari jika kertas itu berisi data tentang gaji manager lain yang baru saja di hire dari perusahaan lain. Secara tidak sengaja pula, terlihatlah angkanya. Dibandingkan dengan gajinya sendiri, beda berkali-kali lipat. Sejak saat itu, dia tidak bisa melupakan bahwa ternyata gaji yang selama ini diterimanya berbeda jauh dari kolega barunya. Dibawah deraan ‘informasi’ yang mengejutkan itu, sang manager memiliki 2 pilihan; menghadap atasannya untuk meminta kenaikan gaji, atau memendam rasa kesal atas perbedaan gaji dengan orang baru yang belum tentu kerjanya bagus itu. Sang manager tidak mengambil kedua pilihan itu. Dia tetap mengingat kejomplangan itu, namun tidak membiarkannya berpengaruh buruk bagi perasaan dan perilakunya. Dia terus saja bekerja sebagaimana biasanya. Beberapa waktu kemudian, dia mendapatkan lebih banyak kepercayaan dan pendapatan hingga jauh melampaui angka orang lain yang pernah dilihatnya itu.

Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menyelami kisahnya, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn) berikut ini :
1. Bayaran adalah sebuah kepantasan.
Bersediakah Anda bekerja tidak dibayar ? Mungkin mau kalau pekerjaan itu dilakukan untuk lembaga amal dan sesekali saja. Tetapi, jika dilakukan untuk organisasi bisnis atau sudah menjadi rutinitas? Hmmh…, sebaiknya Anda mempertimbangkan jawaban itu kembali. Wajar, jika kita tidak mau bekerja tanpa dibayar. Karena memang tidak pantas jika seseorang sudah bekerja untuk kita tetapi tidak mendapatkan bayaran yang sewajarnya. Bayaran atas pekerjaan yang dilakukan seseorang berbeda dengan tips. Boleh saja jika kita tidak memberi tips kepada seorang pelayan restoran yang menjalankan tugasnya untuk menyajikan makanan. Tetapi, kepada pembantu rumah tangga yang menyediakan makanan itu; wajib hukumnya untuk membayar gajinya. Setiap orang berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Dan orang atau seseorang yang mewakili lembaga yang mempekerjakannya berkewajiban untuk melakukan pembayaran itu. Karena bayaran adalah sebuah kepantasan.
2. Bayaran tidak pernah sepadan.
Berapa bayaran yang Anda terima dalam sebulan ? Sekarang coba bandingkan antara besarnya bayaran itu dengan resiko yang Anda hadapi dalam menjalankan pekerjaan itu. Resiko disepenjang perjalanan dari rumah menuju ke kantor, atau sebaliknya. Resiko selama melakukan pekerjaan itu. Resiko dalam perjalanan dinas diatas pesawat terbang, ditempat asing, atau di proyek. Bagaimana dengan terkena serangan jantung di ruang kerja kita yang nyaman? Atau, resiko ‘kecil’ lainnya yang sering tidak kita sadari semisal; anak yang jarang bertemu ayah ibunya yang sibuk. Berapapun bayaran yang kita terima, tetap tidak pernah bisa sepadan dengan resiko yang dihadapi. Boleh dikata setiap pekerjaan memiliki resiko yang lebih besar daripada rupiahnya. Oleh karenanya, bekerja hanya dengan dorongan mendapatkan uang sungguh sangat dangkal. Kita perlu menambahkan ‘kejaran atau penghasilan’ lain dalam bekerja melampaui keingingan kita untuk mendapatkan uang. Misalnya, perasaan yang dihasilkan salah seorang sahabat saya ketika mampu membantu bawahannya menapaki karir yang bahkan lebih tinggi dari dirinya. Atau ketika berhasil membuat pelanggannya tersenyum. Bagi sahabat saya itu, bahagia yang dirasakan didalam hatinya melampaui jumlah rupiah yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana dengan Anda?
3. Bayaran membatasi pemberdayaan diri.
Bagi sahabat yang saya ceritakan itu, pembayaran yang diterimanya tidak membatasi dirinya untuk terus mendedikasikan seluruh kapasitas diri untuk pekerjaannya meski tahu dia dibayar lebih rendah dari kolega barunya. Sungguh sebuah kualitas yang langka. Kebanyakan orang terdemotivasi lalu mengurangi kualitas atau kegigihannya dalam bekerja. Hal itu dilakukan bahkan dalam keadaan ‘tidak tahu’ apakah orang lain dibayar berkali lipat lebih tinggi atau tidak. Kadang kita juga tergoda untuk bekerja asal-asalan hanya karena ‘merasa’ pantas dibayar lebih tinggi. Tidak salah dengan ‘perasaan’ seperti itu. Yang salah adalah cara kita mengekspresikannya. Mengurangi kualitas kerja sama sekali tidak bisa membawa kita kepada kemungkinan untuk mendapatkan bayaran yang kita anggap pantas. Sahabat saya tidak menukar kesediaannya dalam bekerja dengan besar kecilnya gaji yang didapatkannya. Dia tidak menjadikan gaji sebagai alat penakar terhadap ‘berapa banyak yang dia kontribusikan’. Dan jalur yang ditempuhnya terbukti ampuh mengantarnya meraih sesuatu yang diimpikan banyak orang. Disaat orang lain mengejarnya, dia malah dihampirinya. Mengapa bisa begitu? Karena kebanyakan orang menakar kinerjanya dengan gaji saat ini. Sedangkan dia terus memberdayakan diri tanpa memusingkan berapa bayaran yang sekarang diterimanya.
4. Menetapkan tarip bayaran tertinggi.
“Mengapa elo tidak mengharapkan bayaran yang tertinggi?” begitu saya bertanya kepadanya. Pertanyaan itu dibalas oleh sebuah respon yang mengejutkan. “Lebih baik jika elo tanya; berapa tarip bayaranku,” katanya. “Baiklah,” kata saya. “Berapa berapa tarip bayaranmu?” Sebuah respon mengejutkan lain yang saya dapatkan. Sahabat saya mengatakan bahwa tarip bayarannya adalah sebuah angka yang tidak bisa dipenuhi oleh pemberi kerja manapun. Baginya itu bukanlah sebuah lelucon. Katanya; “makanya aku tidak pernah bekerja untuk siapapun selain untuk Dzat yang pasti sanggup memberiku bayaran dengan tarip tertinggi itu.” Hmmh, sekarang saya mengerti. Dia melangkahkan kaki dari rumahnya menuju ke tempat kerja dengan DOA diiringi tekad untuk melayani seseorang pada hari itu melalui pekerjaan yang dijalaninya. Tidak pernah ada keluh kesah singgah dihatinya. Bahkan dalam keadaan serba menyakitkan dan menyulitkan sekalipun. Dia yakin, semakin sulit pekerjaan yang dilaluinya hari itu; semakin tinggi tarip bayaran dari ‘sang pemberi pekerjaan’ itu. Begitulah caranya menetapkan tarip bayaran tertinggi. Dia menganggap apapun yang harus dilakukannya hari itu sebagai pekerjaan yang diberikan oleh Tuhan, untuk ditunaikannya. Maka, wajar jika tarip tertinggi yang ditetapkannya itu hanya bisa dibayar lunas oleh Sang Pemberi Kerja itu.
5. Syarat mendapat bayaran tertinggi.
Saya penasaran, bagaimana caranya mendapatkan tarip tertinggi itu? Jangan-jangan syaratnya sangat sulit? Bukankah semakin tinggi angka yang kita minta tentunya akan semakin sulit juga untuk mendapatkannya? Seseorang mungkin harus menjadi direktur untuk mendapatkan bayaran puluhan atau ratusan juta. Bagaimana mungkin karyawan yang tidak menduduki posisi tinggi seperti kita ini bisa mendapatkan bayaran dengan tarip tertinggi itu? Jabatan kita, ternyata tidak menentukan kualitas kerja kita. Dan posisi kita, sama sekali tidak mewakili kontribusi kita. Oleh karenanya, bayaran dengan tarip tertinggi itu tidak ada kaitannya dengan jabatan. Tangan kita ini, adalah anugerah bernilai tinggi. Ketika anugerah tangan ini disyukuri dengan menggunakannya untuk melakukan pekerjaan yang disukai Tuhan, maka Tuhanpun membayarnya dengan tarip tertinggi. Begitu pula dengan mata, kaki, kepala dan sekujur tubuh kita. Seperti sahabat saya itu. Dia tabah saat dimarahi pelanggannya. Dia tetap tegar setelah diomeli habis-habisan oleh atasannya. Dia tenang saja waktu tahu dicurangi temannya. Dan dia juga begitu telatennya mengembangkan anak buahnya. Mengapa? Karena dia percaya jika setiap orang yang berkaitan dengan pekerjaannya adalah kiriman Tuhan. Sungguh, Tuhanlah yang menjadikan mereka sebagai sarana untuk memberinya pekerjaan pada hari itu. Maka melayani mereka, serasa melayani TUHAN-nya. Sesederhana itulah syaratnya.
Boleh saja jika kita berusaha mengejar bayaran tinggi atas pekerjaan yang kita lakukan. Menyebar CV atau mengejar posisi yang lebih tinggi lagi. Tetapi hendaknya janganlah kita melupakan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan sederhana dengan tarip bayaran yang paling tinggi. Yaitu pekerjaan yang dikirim oleh Tuhan melalui kehadiran orang-orang disekitar kita. Mungkin mereka adalah pelanggan produk-produk kita. Mungkin juga atasan kita. Boleh jadi bawahan kita. Atau kolega. Bahkan boleh jadi, mereka adalah orang-orang yang tidak kita kenal, tidak pula kita pernah berjumpa. Marilah kita layani mereka dengan niat untuk melayani Dzat yang mengirimkan mereka kepada kita. Pasti kita akan dengan riang hati melakukannya. Maka apapun jenis profesi kita; kita bisa menjadikannya sebagai pekerjaan dengan bayaran tertinggi.
Catatan Kaki:
 Pekerjaan dengan gaji tertinggi bukanlah profesi bergengsi yang menghasilkan banyak uang. Melainkan pekerjaan apapun yang memiliki nilai dimata TUHAN..~

Kisah Sedih Penyesalan Istri terhadap suaminya – Bisa dijadikan pelajaran hidup

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
From : Mas danu Trila